fin

Thursday, April 12, 2012

TESIS PASCASARJANA PROGRAM STUDI PPW ; EVALUASI IMPLEMENTASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH KAWASAN PESISIR PERKOTAAN KOTA KOLAKA


 BAB  I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan (archiphelagic state) dengan jumlah pulau besar dan kecil lebih dari 17.500 buah dan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km (Dahuri, 2001) menjadikan wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar.  Wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, terlebih pada saat ini bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan. Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi, wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) dihuni oleh sekitar 140 juta (60%) penduduk Indonesia (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % pertahun); (b) sebagian besar kota (provinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional 20,06 % pada tahun 1998; (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung (Kusumastanto, 2000).
            Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti peting karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada (sekitar 81 km); (b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 juta km termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau; (d) memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Dahuri, 2001).
            Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Zone Planning and Management) telah diadopsi oleh pemerintah sebagai suatu model pengelolaan yang dinilai dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir. Secara nasional, kisi-kisi pengelolaan mengamanatkan perlunya aspek keterpaduan dalam penerapan sistem perencanaan sehingga unsur-unsur perencana terlibat secara aktif dalam seluruh tahapan pengelolaan (Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2006).
            Implementasi pengelolaan terpadu telah diterapakan sejumlah daerah di Indonesia sejak awal tahun 1990-an melalui beberapa proyek, seperti pengelolaan terumbu karang (Coremap) dan proyek pengelolaan pesisir (CRMP). Dan pada tahun 2002, pemerintah merasa perlu menjabarkan sistem perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam bentuk Keputusan Menteri Nomor 10/2002 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).
            Perencanaan pengelolaan terpadu wilayah pesisir yang dimaksudkan dalam Kepmen ini merupakan suatu kebijakan riil dalam membangun sistem perencanaan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Dalam surat keputusan itu, diisyaratkan bahwa perencanaan pengelolaan pesisir seyogianya didasarkan pada empat dokumen perencanaan hierarkis, yaitu Rencana Strategis (Strategic Plan), Rencana Zonasi (Zonation Plan), Rencana Pengelolaan (Management Plan) dan Rencana Aksi (Action Plan).  Keempat dokumen perencanaan tersusun secara hierarkis, artinya dokumen yang satu merupakan penjabaran dari dokumen yang berada di atas tingkatan dan bersifat koheren, artinya pendekatan dan substansi perencanaan harus konsisten bagi pemerintah daerah yang menyusunnya.
            Salah satu pedoman untuk melakukan implementasi pengelolaan yang baik adalah dengan mengacu pada sebuah perencanaan yang terpadu, dalam bentuk dokumen rencana pengelolaan terpadu yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai kondisi objektif, antara lain kondisi dan potensi geografis, kultural daerah, kemampuan pembiayaan daerah, sumberdaya manusia sebagai pendukung, serta kelembagaan yang terkait yang diharapkan mampu mengimplementasikan rencana strategis tersebut (Jompa, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis mengadakan penelitian tentang evaluasi implementasi rencana tata ruang wilayah kawasan pesisir perkotaan kota Kolaka.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ditarik rumusan masalah : Apakah rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka telah diimplementasikan sesuai dengan rencana yang termuat dalam dokumen?
1.3.      Tujuan Penelitian
1)      Untuk menganalisis dokumen rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka.
2)      Untuk menganalisis sampai seberapa jauh implementasi dari dokumen rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1)      Sebagai bahan banding dan rujukan bagi para peneliti yang relevan khususnya dalam bidang penataan tata ruang wilayah pesisir.
2)      Sebagai bahan informasi kepada stakeholder di Kabupaten Kolaka, khususnya instansi teknis yang terlibat dalam menyusun rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.  Konsep Ruang dan Wilayah
Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).
Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan definisi wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama. Disamping itu, perlu pula diperhatikan bahwa kegiatan sosial ekonomi dalam ruang dapat menimbulkan dampak positif maupun negative terhadap kegiatan lainnya.
Rustiadi et al. (2002) membagi konsep wilayah atas enam jenis, yakni :               (1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominant bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sector basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah; (3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponenkomponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini sebagai wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya.

2.2. Pengertian dan Definisi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir (Dahuri et al., 1996).
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.
Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas.
            Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memcahkan masalah kebijakan (Dun, 1998). Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam pengambilan keputusan dan langkah yang diambil. Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi, dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupum teori-teri ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah, juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan meliputi dua hal yaitu sebagai evaluasi dan sebagai anjuran kebijakan.
            Dun (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai.  
            Ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan (Sugiyono, 2006), yaitu:       (1) pendekatan empiris, (2) pendekatan evaluatif dan (3) pendekatan normatif. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik, pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu apakah sesuatu itu ada. Sementara pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu. Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan  masalah kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan.
Proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk memeahkan masalah-masalah kemanusiaan, yaitu : deskriptif, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari segi waktu dan hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan sebelum tindakan diambil, sedangkan deskriptif dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.
Dalam kaitannya dalam pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan laut, pemerintah dan bangsa Indonesia telah memuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif. Kebijakann ini ditindaklanjuti dengan penetapan kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang mantap dan berkesinambungan (Dahuri dalam Ismail, 2000). Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :

2.3. Arah Kebijaksanaan Nasional Bidang Penataan  Ruang
Kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk mnejaga kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana secara tegas telah mengatur mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang terdiri dari wilayah darat dan laut sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), 1999-2004, mengamanatkan agar pembangunan wilayah Indonesia dapat dilaksanakan secara seimbang dan serasi antara dimensi pertumbuhan dengan dimensi pemerataan, antara pengembangan Kawasan Barat dengan Kawasan Timur Indonesia, serta antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan. Hal ini dimaksudkan agar kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat segera teratasi melalui pembangunan yang terencana dengan matang, sistematis, dan bertahap.  Dalam kaitan ini, maka pengembangan wilayah merupakan sebuah pendekatan yang digunakan agar tujuan pembangunan nasional sesuai dengan amanat GBHN diatas benar-benar dapat terwujud.
Pengembangan wilayah menekankan pula keserasian dan keseimbangan antara pembangunan pada wilayah hulu dengan wilayah hilir, antara wilayah daratan (main-land) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan), serta antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan kata lain, pengembangan wilayah menekankan adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, demi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan untuk generasi mendatang (development sustainability) (Darwanto, 2000)
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang terpadu, terarah dan holistik, maka pendekatan pengembangan wilayah untuk pembangunan nasional ditempuh dengan instrumen penataan ruang, yang terdiri dari perencanaan, pembangunan (pemanfaatan ruang) dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang merupakan landasan ataupun acuan kebijakan dan strategi pembangunan bagi sektor-sektor maupun wilayah-wilayah yang berkepentingan agar terjadi kesatuan penanganan yang sinergis – sekaligus mengurangi potensi konflik lintas wilayah dan lintas sektoral. (Kusumastanto, 2000), selanjutnya bahwa dalam upaya memberikan respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa mendatang, serta mendorong percepatan otonomi daerah, maka pada tingkat nasional ditempuh kebijakan pokok revitalisasi penataan ruang yang bertujuan untuk mengfungsikan kembali penataan ruang sejalan dengan paradigma baru, yakni keterbukaan, akuntabilitas sehingga mampu menjawab berbagai persoalan dan masalah aktual yang ada sekaligus meletakan landasan pembangunan ke depan yang lebih baik.
Selain itu, kebijakan penting lainnya yang dikembangkan adalah : (a) penyiapan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public campaign dan (d) penyiapan dukungan sistem informasi penataan ruang.
Sebagai “penjaga” kepentingan nasional, pemerintah pusat juga mengeluarkan kerangka perencanaan makro dalam wujud RTRWN dan RTR Pulau sebagai operasionalisasinya. Pada tingkatan rencana makro tersebut, yang merupakan fokus penataan adalah bagaimana mewujudkan struktur perwilayahan melalui upaya mensinergikan antar kawasan yang antara lain dicapai dengan pengaturan hirarki fungsional yaitu: sistem kota-kota, sistem jaringan prasarana wilayah, serta fasilitasi kerjasama lintas propinsi, kabupaten, dan kota.
Kusumastanto (2000) menyatakan bahwa mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor  berikut : Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan. Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah. Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders. Dalam hal ini instrument pengaturan bagi wilayah pesisir perlu dirumuskan sebagai turunan dan bagian yang tidak terpisahkan dari UU 24/1992 tentang Penataan Ruang.
2.4. Implementasi Kebijakan Penataan Ruang     
       Kebijakan penataan ruang wilayah pesisir pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut : Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung. ; Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut,  banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya; Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management). (Darwanto, 2000)
Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :
1)      Pengenalan kondisi pemanfaatan ruang laut dan pesisir yang ada mencakup kegiatan analisis sumberdaya di laut, batasan wilayah laut dimana suatu wilayah atau negara mempunyai wewenang,  analisis pendekatan teknologi yang mungkin dibutuhkan dalam pengembangan sumberdaya yang ada, identifikasi sektor-sektor dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya kelautan, identifikasi kesepakatan nasional dan konvensi internasional mengenai pemanfaatan ruang laut serta analisis hubungan fungsional secara sosial ekonomi antara pemanfaatan ruang laut dan udara.
2)      Pengenalan dimensi spasial pembangunan suatu daerah meliputi analisis tujuan dan sasaran makro pembangunan daerah, analisis pola ekonomi ruang darat dan laut yang sesuai untuk mewujudkan tujuan pembangunan serta analisis skenario pembangunan laut dalam konstelasi pengembangan ruang darat dan laut secara menyeluruh dan pemilihan alternatif yangada.
Penjabaran pola pembangunan ruang laut, kawasan-kawasan pesisir dan kawasan konservasi di laut dan pantai. Untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir dsn lautan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated Coastal and Marine Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan pembangunan sumebrdaya wilayah pesisir dan laut meliputi empat aspek kutama yaitu (1) aspek teknis dan sosial, (2) aspek sosial ekonomi dan budaya, (3) aspek sosial politik, dan (4) aspek hukum serta kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan.
Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994) ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual dan biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya.
            Secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Karena itu, hal ini akan menyangkut penciptaan sistem pelaksanaan kebijakan yang juga merupakan alat khusus yang disusun untk mencapai tujuan khusus. Dengan demikian, kebijakan adalah suatu pernyataan tujuan secara luas, sasaran dan cara-cara, yang ekmudian diterjemahkan kedalam program-program tindakan yang dimaksudkann untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan (Wibawa, 1994).
            Selanjutnya Salusu (2005) menyatakan bahwa implementasi adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu keputusan. Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk mencapai sasaran tertentu, guna merealisasikan pencapaian sasaran itu, sehingga diperlukan serangkaian aktivitas. Jadi dapat dikatakan bahwa implementasi adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran tertentu.
            Menurut Abdullah (1988), pengertian dan unsur-unsur pokok dari proses implementasi adalah sebagai berikut :
1)      Proses implementasi program (kebijakan) adalah rangkaian tindak lanjut (setelah sabuah program atau kebijakan diterapkan), yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah strategis maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan semula.
2)      Proses implementasi dalam kenyataan sesungguhnya dapat berhasil, kurang berhasil ataupun gagal sama sekali, ditinjau dari sudut hasil yang dicapai atau out come, karena dalam proses tersebut turut bermain dan terlibat sebagai unsur yang pengaruhnya dapat bersifat mendukung maupun menghambat pencapaian sasaran program.
3)      Dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak yaitu: (1) adanya program/kebijakan yang dilaksanakan; (2) “target group” yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan; dan (3) unsur pelaksana (implementer) baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan pengawasan dari implementasi tersebut.
Jones (1991) mengemukakan pendapat tentang pilar implementasi sebagai berikut :
a.       Pengorganisasian; yakni penataan kembali sumberdaya unit-unit serta metode untuk menjalankan program.
b.      Interpretasi; yakni aktivitas menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.
c.       Aplikasi; yaitu memberikan kelengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau aktivitas lainnya sesuai dengan tujuan program.
Ada beberapa strategi yang harus ditempuh dalam proses implementasi, strategi tersebut meliputi: (a) persiapan implementasi, dan (b) implementasi program. Persiapan implementasi meliputi rencana program, pengumpulan data, sentralisasi atau desentralisasi keputusan penentuan agen-agen pelaksana, sedangkan implementasi program ada yang bersifat spasial atau sektoral. Dalam proses implementasi ada banyak kenyataan yang dihadapi yang ikut mempengaruhi keberhasilan program yaitu: (1) karakteristik lingkungan dimana program tersebut dilaksanakan, (2) aparat pelaksana program menyangkut keterampilan, pengetahuan, komitmen dan loyalitas, (3) otoritas yang berlaku dalam program, (4) dukungan masyarakat, dan (5) sistem administrasi yang berlaku dalam program (Keban, 1994).
Allison dalam Tangkilisan (2003) dalam menilai konteks implementasi kebijakan, menampilkan tiga model pembuatan keputusan untuk implementasi yaitu: aktor rasional, proses organisasional, dan model politik birokrasi. Kedua dan ketiga model ini berfokus pada prosedur operasi standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan politik birokrasi secara berurutan dan telah memberi banyak perhatian untuk pembuatan keputusan. Pendekatan dilakukan sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing intitusi, namun tetap berfokus pada pentingnya faktor dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, penekanan terhadap faktor tersebut adalah bagaimana faktor-faktor domian tersebut mempengaruhi implementasi secara khusus.
Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa kenyataan yang terjadi sesudah program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa dan kegiatan terjadi setelah proses pengesahan kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Beberapa model dalam pengkajian implementasi kebijakan, dikemukakan sebagai berikut (Pressman dan Wildavsky, 1984): implementation problem approach, mengemukakan dua pertanyaan pokok, yaitu: (i) hal-hal apa saja yang merupakan prasyarat bagi suatu implementasi yang berhasil? (ii) apa saja yang merupakan penghambat utama terhadap berhasilnya implementasi program?. Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dapat dirumuskan empat faktor atau variabel yang merupakan prasyarat penting guna berhasilnya implementasi, yaitu: 
a)      Komunikasi menjadi penting karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi pelaksana. Hal ini menyangkut penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang dibutuhkan.
§  Sumberdaya; meliputi: staf yang cukup dalam arti jumlah dan mutu, informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup untuk melaksanakan tugas serta fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.
§  Sikap birokrasi dan pelaksanaan; sikap dan komitmen para birokrasi terhadap program khususnya bagi implementasi dari suatu program dalam hal ini aparatur birokrasi.
§  Struktur birokrasi; adanya suatu SOP yang mengatur tata aliran pekerjaan program. Apabila tidak ada SOP maka akan sulit mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalah yang timbul akan bersifat ad-hoc. Dengan demikian, penyelesaian masalah tanpa pola yang baku.
b)      Transactional model, merupakan suatu model yang memadai karena cukup komprehensif sifatnya, sbagai kerangka pemikiran guna memahami masalah yang dihadapi dalam proses pelaksanaan pembangunan. Pada prinsipnya model ini bertolak dari pandangan bahwa guna memahami berbagai masalah pada tahap pelaksanaan suatu rencana atau kebijakan, keterikatan antara perencanaan dan implementasi tak dapat diabaikan. Proses perencanaan itu sendiri tidak dapat dilihat sebagai suatu proses terpisah dari pelaksanaan. Pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor yang mendorong maupun menghambat pelaksanaan program.
c)      Faktor-faktor untuk dipertimbangkan dalam implementasi (Chuse dalam Abdullah, 1988) mengemukakan bahwa hambatan dalam proses implementasi  program yang terkait dengan masyarakat dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
a.       Masalah yang timbul karena kebutuhan operasional yang melekat pada progam itu sendiri.
b.      Masalah yang timbul dalam kegiatan dengan sumberdaya yang dibutuhkan guna pelaksanaan program.
c.       Masalah lain yang timbul karena keterikatan dengan organisasi lainnnya untuk memberikan dukungan, bantuan dan persetujuaan guna melaksanakan program tersebut.

2.5. Evaluasi Implementasi Kebijakan
            Menurut Wibawa (1994) kegiatan evaluasi dalam beberapa hal mirip dengan pengawasan, pengendalian, penyeliaan, supervise, kontrol dan pemonitoran. Pelaku utama kegiatan evaluasi adalah pemerintah dan juga dapat dilakukan oleh lembaga lain. Tujuan evaluasi dapat berbeda-beda, misalnya untuk menunjukkan kegagalan kebijakan dan untuk menunjukkan ketidakadilan yang melekat pada suatu kebijakan.
            Menurut Lester dan Stewart (2000) dalam Winarno (2002) mengemukakan bahwa “evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dijalankan meraih dampak yang diharapkan”, sedangkan menurut Jones (1991) dalam Winarno (2002) mendefinisikan bahwa “evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat suatu kebijakan”. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Andeson (1975) dalam Winarno (2002), “evaluai kebijakan dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dan dampak”.
            Berdasarkan beberap pengertian evaluasi kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan dilakukannya evaluasi kebijakan adalah untuk mengetahui konsekuensi apa yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya dan  untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara singkat tujuan evaluasi kebijakan adalah untuk mendokumentasikan apa yang terjadi dan mengapa itu terjadi, serta untuk mengetahui apakah ada kaitan dari keduanya.
Perhatian khusus juga diberikan bagi pengembangan prasarana wilayah yang strategis untuk pengembangan wilayah pesisir dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruangnya menurut Darwanto (2000), diantaranya:
§    Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman, yang layak dan terjangkau dengan menitikberatkan pada masyarakat miskin dan berpendapat rendah (seperti pada permukiman nelayan), diantaranya melalui pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan  ekonomi masyarakat lokal.
§    Pengembangan prasarana dan sarana permukiman, khususnya untuk kota-kota pesisir, melalui: (a) peningkatan prasarana dan sarana perkotaan untuk mewujudkan fungsi kota sebagai Pusat Kegiatan Nasional, Wilayah dan Lokal; (b) pengembangan desa pusat pertumbuhan dan prasarana dan sarana antara desa-kota untuk mendukung pengembangan agribisnis dan agropolitan (termasuk sentra-sentra produksi kelautan); (c) mempertahankan tingkat pelayanan dan kualitas jalan kota (arteri dan kolektor primer) bagi kota-kota metro, besar, dan ibukota propinsi.
§    Pemantapan kehandalan prasarana jalan untuk mendukung kawasan andalan (laut dan darat), termasuk sentra-sentra produksi di wilayah pesisir, melalui: (a) harmonisasi sistim jaringan jalan terhadap tata ruang, (b) pemantapan kinerja pelayanan prasarana jalan terbangun melalui pemeliharaan, rahabilitasi serta pemantapan teknologi terapan, (c) penyelesaian pembangunan ruas jalan untuk memfungsikan sistem jaringan.
§    Pemantapan pelayanan sumber daya air, terkait dengan pembangunan wilayah pesisir melalui: (a) Pengelolaan dan konservasi sungai, danau, waduk dan sumber air lainnya untuk menjamin ketersediaan air dan pengamanan pantai untuk melindungi kawasan sentra ekonomi (termasuk kelautan), pemukiman (perkotaan dan perdesaan) pada wilayah pesisir. (b) Pengembangan pengelolaan sumber daya air yang terkoordinasi secara lintas sektoral dan multi-stakeholders pada tingkat nasional, daerah dan wilayah sungai.
            Menuru Ripley dalam Wibawa (1994) terdapat beberapa persoalan yang harus dijawab dalam suatu kegiatan evaluasi, yaitu:
1)            Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses di dalam pembuatan kebijakan?
2)            Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi prosedur?
3)            Apakah program didesain secara logis?
4)            Apakah sumberdaya yang menjadi input program telah cukup memadai untuk mencapai tujuan?
5)            Apakah standar implementasi yang baik menurut kebijakan itu?
6)            Apakah program dilaksanakan sesuai standar efisiensi dan ekonomi?
7)            Apakah kelompok sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang didesain dalam program?
8)            Apakah program memberikan dampak kepada kelompok non-sasaran?
9)            Apa dampaknya, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan terhadap masyarakat?
10)        Kapan tindakan program dilakukan dan dampaknya diterima oleh masyarakat?
11)        Apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan?
  
BAB III  KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Perkembangan Kota Kolaka akan membawa pengaruh besar terhadap lingkungannya termasuk lingkungan pesisir. Hal ini karena perkembangan kota akan diiringi dengan perkembangan teknologi, industri, pertumbuhan penduduk, sarana pemukiman, fasilitas umum dan sosial, serta sarana transportasi yang akan memberikan tekanan terhadap lingkungan. Apabila hal ini tidak dikelola, maka kemungkinan besar akan menimbulkan masalah lingkungan (fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi, dan budaya) yang lebih kompleks dan mengakibatkan degradasi lingkungan termasuk degradasi lingkungan pesisir yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir terutama nelayan.
Kondisi eksisting di pesisir Kota Kolaka antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Kondisi Biofisik
Beberapa tahun terakhir ini terjadinya penurunan luasan terumbu karang dan mangrove. Ancaman intrusi air laut di wilayah ini mulai dirasakan masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan antara lain oleh pemakaian air bawah tanah yang tinggi untuk aktivitas perumahan. Ancaman lain yang juga kerap melanda pesisir Kota Kolaka adalah masalah banjir. Banjir yang terjadi antara lain disebabkan oleh alur sungai yang menyempit karena permukiman atau reklamasi pantai di bantaran sungai dan pembuangan sampah ke alur sungai.

B. Kondisi Sosial Ekonomi
Pesisir Kolaka masih menyimpan potensi besar dalam pariwisata pantai yang ditunjang oleh letaknya yang dekat dengan pusat kota. Sumberdaya alam berupa pariwisata pantai yang besar ini sayangnya belum dikelola secara optimal dan pengelolaan yang ada sekarang belum memperhatikan aspek keberlanjutan. Masalah sosial ekonomi yang lain adalah tingginya tingkat pengeboman ikan. Cara seperti ini memang mudah untuk dilakukan namun sangat membahayakan nelayan maupun lingkungan sekitarnya. Penggunaan bahan peledak ini menjadikan metode penangkapan ikan menjadi tidak selektif karena peluang matinya ikan-ikan berukuran kecil menjadi semakin tinggi, bahkan tidak jarang dapat merusak terumbu karang. Selain itu permasalahan sosial ekonomi lain di wilayah ini adalah rendahnya mutu sumberdaya manusia (SDM) yang rata-rata tamat sekolah dasar.

C. Kondisi Kelembagaan
Kelembagaan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengelolaan pesisir secara terpadu. Hal yang menjadi masalah berkenaan dengan kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kota Kolaka, antara lain: institusi pengelola wilayah pesisir belum berfungsi secara optimal, rendahnya penaatan dan penegakan hukum disamping belum adanya peraturan daerah yang mengatur secara khusus pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan, serta penataan ruang wilayah pesisir yang belum optimal.
Kondisi diatas merupakan permasalahan yang terdapat di wilayah pesisir Kota Kolaka. Pemerintah Kota Kolaka sebenarnya telah menuangkan berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun sampai sejauh ini, berbagai kebijakan yang telah dituangkan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara luas dan merata.
Permasalahan-permasalahan yang saat ini melanda desa/kel di wilayah pesisir Kota Kolaka berakar pada belum optimalnya arahan pengembangan di kawasan penelitian.
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang paling mendapat tekanan di Kota Kolaka akibat tingginya intensitas pemanfaatan sumberdaya di kawasan ini. Berkembangnya kawasan ini menjadi permukiman, perhubungan, pariwisata, dan perikanan menjadikan kawasan ini salah satu kawasan yang paling terancam secara ekologis dan rawan terhadap berbagai konflik sosial ekonomi. Identifikasi potensi dan arah pengembangan desa/kel. di kawasan ini diharapkan dapat memberikan kerangka dasar penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.
Analisis pengembangan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan tipologi wilayah, yang terbagi atas dua, yakni dengan melihat keragaan relatif tingkat perkembangan desa/kelurahan pesisir dibanding dengan desa/kelurahan umumnya di Kota Kolaka dan melihat keterkaitan antara tipologi dan perkembangan desa dengan faktor-faktor penciri/karakteristik desa. Hasil analisis ini kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk menyusun strategi pengembangan dan pengelolaan sosial ekonomi wilayah pesisir Kota Kolaka. 

No comments:

Post a Comment

Please comment here!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Feedjit