BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah
negara kepulauan (archiphelagic state) dengan jumlah pulau besar dan kecil
lebih dari 17.500 buah dan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km (Dahuri,
2001) menjadikan wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat
besar. Wilayah pesisir beserta sumberdaya
alamnya memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia,
terlebih pada saat ini bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia
dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi, wilayah
pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) dihuni oleh sekitar 140 juta
(60%) penduduk Indonesia (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % pertahun); (b)
sebagian besar kota (provinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c)
kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional 20,06 % pada tahun 1998; (d)
industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja
secara langsung (Kusumastanto, 2000).
Kedua,
secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti peting karena
(a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada (sekitar
81 km); (b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar
5,8 juta km termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau; (d) memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi (Dahuri, 2001).
Perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Zone Planning and
Management) telah diadopsi oleh pemerintah sebagai suatu model pengelolaan yang
dinilai dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya yang ada di wilayah
pesisir. Secara nasional, kisi-kisi pengelolaan mengamanatkan perlunya aspek
keterpaduan dalam penerapan sistem perencanaan sehingga unsur-unsur perencana
terlibat secara aktif dalam seluruh tahapan pengelolaan (Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan, 2006).
Implementasi
pengelolaan terpadu telah diterapakan sejumlah daerah di Indonesia sejak awal
tahun 1990-an melalui beberapa proyek, seperti pengelolaan terumbu karang
(Coremap) dan proyek pengelolaan pesisir (CRMP). Dan pada tahun 2002,
pemerintah merasa perlu menjabarkan sistem perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut dalam bentuk Keputusan Menteri Nomor 10/2002 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2005).
Perencanaan
pengelolaan terpadu wilayah pesisir yang dimaksudkan dalam Kepmen ini merupakan
suatu kebijakan riil dalam membangun sistem perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir di Indonesia. Dalam surat keputusan itu, diisyaratkan bahwa perencanaan
pengelolaan pesisir seyogianya didasarkan pada empat dokumen perencanaan
hierarkis, yaitu Rencana Strategis (Strategic Plan), Rencana Zonasi (Zonation
Plan), Rencana Pengelolaan (Management Plan) dan Rencana Aksi (Action Plan). Keempat dokumen perencanaan tersusun secara
hierarkis, artinya dokumen yang satu merupakan penjabaran dari dokumen yang
berada di atas tingkatan dan bersifat koheren, artinya pendekatan dan substansi
perencanaan harus konsisten bagi pemerintah daerah yang menyusunnya.
Salah
satu pedoman untuk melakukan implementasi pengelolaan yang baik adalah dengan
mengacu pada sebuah perencanaan yang terpadu, dalam bentuk dokumen rencana
pengelolaan terpadu yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai kondisi
objektif, antara lain kondisi dan potensi geografis, kultural daerah, kemampuan
pembiayaan daerah, sumberdaya manusia sebagai pendukung, serta kelembagaan yang
terkait yang diharapkan mampu mengimplementasikan rencana strategis tersebut
(Jompa, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka penulis mengadakan penelitian tentang evaluasi implementasi
rencana tata ruang wilayah kawasan pesisir perkotaan kota Kolaka.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, maka ditarik rumusan masalah : Apakah rencana penataan tata
ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka telah
diimplementasikan sesuai dengan rencana yang termuat dalam dokumen?
1.3. Tujuan
Penelitian
1) Untuk menganalisis dokumen rencana penataan
tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka.
2) Untuk menganalisis sampai seberapa jauh
implementasi dari dokumen rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang
telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1) Sebagai bahan banding dan rujukan bagi para
peneliti yang relevan khususnya dalam bidang penataan tata ruang wilayah
pesisir.
2) Sebagai bahan informasi kepada stakeholder
di Kabupaten Kolaka, khususnya instansi teknis yang terlibat dalam menyusun
rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten
Kolaka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Ruang dan Wilayah
Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu
kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: jarak, lokasi, bentuk,
dan ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan
bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu.
Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang
disebut wilayah (Budiharsono, 2001).
Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan definisi wilayah sebagai
suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya
tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan
ekonomi yang tidak sama. Disamping itu, perlu pula diperhatikan bahwa kegiatan
sosial ekonomi dalam ruang dapat menimbulkan dampak positif maupun negative
terhadap kegiatan lainnya.
Rustiadi et al. (2002) membagi konsep wilayah atas
enam jenis, yakni : (1)
Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik dimana komponen-komponen dari wilayah
tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah
homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa
faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan
faktor-faktor yang tidak dominant bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah
homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan
spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat
dalam penentuan sector basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya
dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan
permasalahan masing-masing wilayah; (3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua
komponenkomponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. konsep wilayah
nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma.
Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah
belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran
bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan
ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5) Wilayah perencanaan
adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat
tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga
perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-politis,
berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan
politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem
kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang dipilih tergantung dari jenis
analisis dan tujuan perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini
sebagai wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas
melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam pengelolaan
sumberdaya-sumberdaya di dalamnya.
2.2. Pengertian dan Definisi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas
darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan
intrusi air laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar
dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa
ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi.
Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang
mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara
langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan
pesisir (Dahuri et al., 1996).
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini masih belum ada definisi
wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia
bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir
mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long
shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah
pesisir ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone)
dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan
keseharian (day-to-day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya
meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan)
yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya
di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas
dari wilayah pengaturan.
Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki
kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan.
Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah
pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara
instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan
instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas.
Analisis kebijakan
adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian
dan argumen menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan
kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memcahkan
masalah kebijakan (Dun, 1998). Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan
atau pengambilan keputusan dengan maksud untuk membangun suatu landasan yang
jelas dalam pengambilan keputusan dan langkah yang diambil. Kebijakan
didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara
terus menerus dipantau, direvisi, dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan
yang terus berubah. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya
membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupum teori-teri
ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori
semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para
pengambil kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan
yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah, juga menghasilkan informasi
mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan
meliputi dua hal yaitu sebagai evaluasi dan sebagai anjuran kebijakan.
Dun (1998) menyebutkan
bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan
dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang
paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan
pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap
komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas
alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk
memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau untuk
mengevaluasi program yang sudah selesai.
Ada tiga pendekatan
dalam analisis kebijakan (Sugiyono, 2006), yaitu: (1) pendekatan empiris, (2) pendekatan
evaluatif dan (3) pendekatan normatif. Pendekatan empiris adalah pendekatan
yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik, pertanyaan pokoknya adalah
mengenai fakta yaitu apakah sesuatu itu ada. Sementara pendekatan evaluatif
adalah pendekatan yang berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari
beberapa kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu. Sedangkan
pendekatan normatif adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan pengusulan
arah tindakan yang dapat memecahkan
masalah kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus
dilakukan.
Proses penelitian analisis kebijakan menggunakan
prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk memeahkan masalah-masalah
kemanusiaan, yaitu : deskriptif, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari segi
waktu dan hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan
sebelum tindakan diambil, sedangkan deskriptif dan evaluasi digunakan setelah
tindakan terjadi.
Dalam kaitannya dalam pembangunan sumberdaya
wilayah pesisir dan laut, pemerintah dan bangsa Indonesia telah memuat suatu
kebijakan yang strategis dan antisipatif. Kebijakann ini ditindaklanjuti dengan
penetapan kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang mantap dan
berkesinambungan (Dahuri dalam Ismail, 2000). Menurut Nurlia (1999), hal-hal
yang perlu dilakukan dalam penataan ruang kelautan dan pesisir adalah sebagai
berikut :
2.3. Arah Kebijaksanaan Nasional
Bidang Penataan Ruang
Kebijaksanaan pemerintah
yang mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk mnejaga
kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana secara
tegas telah mengatur mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan laut yang terdiri dari wilayah darat dan laut sejauh 12 mil
yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN), 1999-2004, mengamanatkan agar pembangunan wilayah Indonesia
dapat dilaksanakan secara seimbang dan serasi antara dimensi pertumbuhan dengan
dimensi pemerataan, antara pengembangan Kawasan Barat dengan Kawasan Timur
Indonesia, serta antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan. Hal ini
dimaksudkan agar kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat segera teratasi
melalui pembangunan yang terencana dengan matang, sistematis, dan bertahap. Dalam kaitan ini, maka pengembangan wilayah
merupakan sebuah pendekatan yang digunakan agar tujuan pembangunan nasional
sesuai dengan amanat GBHN diatas benar-benar dapat terwujud.
Pengembangan wilayah
menekankan pula keserasian dan keseimbangan antara pembangunan pada wilayah
hulu dengan wilayah hilir, antara wilayah daratan (main-land) dengan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan), serta antara kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Dengan kata lain, pengembangan wilayah menekankan adanya
keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian
lingkungan, demi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan untuk generasi
mendatang (development sustainability) (Darwanto, 2000)
Dalam rangka pelaksanaan
pembangunan nasional yang terpadu, terarah dan holistik, maka pendekatan
pengembangan wilayah untuk pembangunan nasional ditempuh dengan instrumen penataan
ruang, yang terdiri dari perencanaan, pembangunan (pemanfaatan ruang) dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang merupakan landasan ataupun
acuan kebijakan dan strategi pembangunan bagi sektor-sektor maupun
wilayah-wilayah yang berkepentingan agar terjadi kesatuan penanganan yang
sinergis – sekaligus mengurangi potensi konflik lintas wilayah dan lintas
sektoral. (Kusumastanto, 2000), selanjutnya bahwa dalam upaya memberikan
respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa mendatang,
serta mendorong percepatan otonomi daerah, maka pada tingkat nasional ditempuh
kebijakan pokok revitalisasi penataan ruang yang bertujuan untuk mengfungsikan
kembali penataan ruang sejalan dengan paradigma baru, yakni keterbukaan,
akuntabilitas sehingga mampu menjawab berbagai persoalan dan masalah aktual
yang ada sekaligus meletakan landasan pembangunan ke depan yang lebih baik.
Selain itu, kebijakan
penting lainnya yang dikembangkan adalah : (a) penyiapan Norma, Standar,
Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatan desentralisasi bidang penataan
ruang ke daerah; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia
serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c)
sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public
campaign dan (d) penyiapan dukungan sistem informasi penataan ruang.
Sebagai “penjaga”
kepentingan nasional, pemerintah pusat juga mengeluarkan kerangka perencanaan
makro dalam wujud RTRWN dan RTR Pulau sebagai operasionalisasinya. Pada
tingkatan rencana makro tersebut, yang merupakan fokus penataan adalah
bagaimana mewujudkan struktur perwilayahan melalui upaya mensinergikan antar
kawasan yang antara lain dicapai dengan pengaturan hirarki fungsional yaitu:
sistem kota-kota, sistem jaringan prasarana wilayah, serta fasilitasi kerjasama
lintas propinsi, kabupaten, dan kota.
Kusumastanto
(2000) menyatakan bahwa mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien
dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada
dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan
faktor-faktor berikut : Keterpaduan yang
bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan
pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan
wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir. Pendekatan bottom-up atau
mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam
pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar
lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders
dalam pelaksanaan pembangunan. Kerjasama antar wilayah (antar propinsi,
kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan,
serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan
kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal,
sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah. Penegakan hukum yang
konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari
kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar
unsur-unsur stakeholders. Dalam hal ini instrument pengaturan bagi wilayah pesisir
perlu dirumuskan sebagai turunan dan bagian yang tidak terpisahkan dari UU
24/1992 tentang Penataan Ruang.
2.4. Implementasi Kebijakan Penataan
Ruang
Kebijakan penataan ruang wilayah pesisir pada dasarnya
ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut : Mewujudkan pembangunan
berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap
penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi
kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap
berlangsung. ; Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan
para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural
hazards) lainnya; Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial
sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah
pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber
daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
(Darwanto, 2000)
Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan
dalam penataan ruang kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :
1)
Pengenalan
kondisi pemanfaatan ruang laut dan pesisir yang ada mencakup kegiatan analisis
sumberdaya di laut, batasan wilayah laut dimana suatu wilayah atau negara
mempunyai wewenang, analisis pendekatan
teknologi yang mungkin dibutuhkan dalam pengembangan sumberdaya yang ada,
identifikasi sektor-sektor dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya kelautan,
identifikasi kesepakatan nasional dan konvensi internasional mengenai
pemanfaatan ruang laut serta analisis hubungan fungsional secara sosial ekonomi
antara pemanfaatan ruang laut dan udara.
2)
Pengenalan
dimensi spasial pembangunan suatu daerah meliputi analisis tujuan dan sasaran
makro pembangunan daerah, analisis pola ekonomi ruang darat dan laut yang
sesuai untuk mewujudkan tujuan pembangunan serta analisis skenario pembangunan
laut dalam konstelasi pengembangan ruang darat dan laut secara menyeluruh dan
pemilihan alternatif yangada.
Penjabaran pola pembangunan ruang laut, kawasan-kawasan pesisir dan
kawasan konservasi di laut dan pantai. Untuk mencapai pembangunan wilayah
pesisir dsn lautan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated
Coastal and Marine Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan pembangunan
sumebrdaya wilayah pesisir dan laut meliputi empat aspek kutama yaitu (1) aspek
teknis dan sosial, (2) aspek sosial ekonomi dan budaya, (3) aspek sosial
politik, dan (4) aspek hukum serta kelembagaan termasuk pertahanan dan
keamanan.
Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994)
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle
adalah bahwa kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek
individual dan biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan.
Tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program
itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya.
Secara sederhana
tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan
kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Karena
itu, hal ini akan menyangkut penciptaan sistem pelaksanaan kebijakan yang juga merupakan
alat khusus yang disusun untk mencapai tujuan khusus. Dengan demikian,
kebijakan adalah suatu pernyataan tujuan secara luas, sasaran dan cara-cara,
yang ekmudian diterjemahkan kedalam program-program tindakan yang dimaksudkann
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan (Wibawa, 1994).
Selanjutnya Salusu
(2005) menyatakan bahwa implementasi adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan
menyusul suatu keputusan. Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk mencapai
sasaran tertentu, guna merealisasikan pencapaian sasaran itu, sehingga
diperlukan serangkaian aktivitas. Jadi dapat dikatakan bahwa implementasi
adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran tertentu.
Menurut Abdullah
(1988), pengertian dan unsur-unsur pokok dari proses implementasi adalah
sebagai berikut :
1)
Proses
implementasi program (kebijakan) adalah rangkaian tindak lanjut (setelah sabuah
program atau kebijakan diterapkan), yang terdiri atas pengambilan keputusan,
langkah-langkah strategis maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan
suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari
program yang ditetapkan semula.
2)
Proses
implementasi dalam kenyataan sesungguhnya dapat berhasil, kurang berhasil
ataupun gagal sama sekali, ditinjau dari sudut hasil yang dicapai atau out come,
karena dalam proses tersebut turut bermain dan terlibat sebagai unsur yang
pengaruhnya dapat bersifat mendukung maupun menghambat pencapaian sasaran
program.
3)
Dalam proses
implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak
yaitu: (1) adanya program/kebijakan yang dilaksanakan; (2) “target group” yaitu
kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat
dari program tersebut, perubahan atau peningkatan; dan (3) unsur pelaksana
(implementer) baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan dan pengawasan dari implementasi tersebut.
Jones (1991) mengemukakan pendapat tentang pilar
implementasi sebagai berikut :
a.
Pengorganisasian;
yakni penataan kembali sumberdaya unit-unit serta metode untuk menjalankan
program.
b.
Interpretasi;
yakni aktivitas menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang
tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.
c.
Aplikasi; yaitu
memberikan kelengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau aktivitas lainnya
sesuai dengan tujuan program.
Ada beberapa strategi yang harus ditempuh dalam
proses implementasi, strategi tersebut meliputi: (a) persiapan implementasi,
dan (b) implementasi program. Persiapan implementasi meliputi rencana program,
pengumpulan data, sentralisasi atau desentralisasi keputusan penentuan
agen-agen pelaksana, sedangkan implementasi program ada yang bersifat spasial
atau sektoral. Dalam proses implementasi ada banyak kenyataan yang dihadapi
yang ikut mempengaruhi keberhasilan program yaitu: (1) karakteristik lingkungan
dimana program tersebut dilaksanakan, (2) aparat pelaksana program menyangkut
keterampilan, pengetahuan, komitmen dan loyalitas, (3) otoritas yang berlaku
dalam program, (4) dukungan masyarakat, dan (5) sistem administrasi yang
berlaku dalam program (Keban, 1994).
Allison dalam Tangkilisan (2003) dalam menilai
konteks implementasi kebijakan, menampilkan tiga model pembuatan keputusan
untuk implementasi yaitu: aktor rasional, proses organisasional, dan model
politik birokrasi. Kedua dan ketiga model ini berfokus pada prosedur operasi
standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan politik birokrasi secara
berurutan dan telah memberi banyak perhatian untuk pembuatan keputusan.
Pendekatan dilakukan sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing intitusi,
namun tetap berfokus pada pentingnya faktor dalam pembuatan keputusan. Dengan
demikian, penekanan terhadap faktor tersebut adalah bagaimana faktor-faktor
domian tersebut mempengaruhi implementasi secara khusus.
Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti
berusaha untuk memahami apa kenyataan yang terjadi sesudah program diberlakukan
atau dirumuskan, yakni peristiwa dan kegiatan terjadi setelah proses pengesahan
kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu
pada masyarakat. Beberapa model dalam pengkajian implementasi kebijakan,
dikemukakan sebagai berikut (Pressman dan Wildavsky, 1984): implementation
problem approach, mengemukakan dua pertanyaan pokok, yaitu: (i) hal-hal apa
saja yang merupakan prasyarat bagi suatu implementasi yang berhasil? (ii) apa
saja yang merupakan penghambat utama terhadap berhasilnya implementasi
program?. Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dapat dirumuskan empat faktor
atau variabel yang merupakan prasyarat penting guna berhasilnya implementasi,
yaitu:
a)
Komunikasi
menjadi penting karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik
apabila jelas bagi pelaksana. Hal ini menyangkut penyampaian informasi,
kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang dibutuhkan.
§
Sumberdaya;
meliputi: staf yang cukup dalam arti jumlah dan mutu, informasi yang dibutuhkan
guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup untuk melaksanakan tugas
serta fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.
§
Sikap birokrasi
dan pelaksanaan; sikap dan komitmen para birokrasi terhadap program khususnya
bagi implementasi dari suatu program dalam hal ini aparatur birokrasi.
§
Struktur
birokrasi; adanya suatu SOP yang mengatur tata aliran pekerjaan program. Apabila
tidak ada SOP maka akan sulit mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian
masalah yang timbul akan bersifat ad-hoc. Dengan demikian, penyelesaian masalah
tanpa pola yang baku.
b)
Transactional
model, merupakan suatu model yang memadai karena cukup komprehensif sifatnya,
sbagai kerangka pemikiran guna memahami masalah yang dihadapi dalam proses
pelaksanaan pembangunan. Pada prinsipnya model ini bertolak dari pandangan
bahwa guna memahami berbagai masalah pada tahap pelaksanaan suatu rencana atau
kebijakan, keterikatan antara perencanaan dan implementasi tak dapat diabaikan.
Proses perencanaan itu sendiri tidak dapat dilihat sebagai suatu proses
terpisah dari pelaksanaan. Pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan
berpengaruh baik faktor yang mendorong maupun menghambat pelaksanaan program.
c)
Faktor-faktor
untuk dipertimbangkan dalam implementasi (Chuse dalam Abdullah, 1988)
mengemukakan bahwa hambatan dalam proses implementasi program yang terkait dengan masyarakat dapat
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Masalah yang
timbul karena kebutuhan operasional yang melekat pada progam itu sendiri.
b.
Masalah yang
timbul dalam kegiatan dengan sumberdaya yang dibutuhkan guna pelaksanaan
program.
c.
Masalah lain
yang timbul karena keterikatan dengan organisasi lainnnya untuk memberikan
dukungan, bantuan dan persetujuaan guna melaksanakan program tersebut.
2.5. Evaluasi Implementasi
Kebijakan
Menurut Wibawa (1994)
kegiatan evaluasi dalam beberapa hal mirip dengan pengawasan, pengendalian,
penyeliaan, supervise, kontrol dan pemonitoran. Pelaku utama kegiatan evaluasi
adalah pemerintah dan juga dapat dilakukan oleh lembaga lain. Tujuan evaluasi
dapat berbeda-beda, misalnya untuk menunjukkan kegagalan kebijakan dan untuk
menunjukkan ketidakadilan yang melekat pada suatu kebijakan.
Menurut Lester dan
Stewart (2000) dalam Winarno (2002) mengemukakan bahwa “evaluasi kebijakan
ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk
mengetahui apakah kebijakan yang telah dijalankan meraih dampak yang diharapkan”,
sedangkan menurut Jones (1991) dalam Winarno (2002) mendefinisikan bahwa
“evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat suatu
kebijakan”. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Andeson (1975) dalam Winarno
(2002), “evaluai kebijakan dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dan
dampak”.
Berdasarkan beberap
pengertian evaluasi kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan
dilakukannya evaluasi kebijakan adalah untuk mengetahui konsekuensi apa yang
ditimbulkan dari pelaksanaan suatu kebijakan dengan cara menggambarkan
dampaknya dan untuk menilai keberhasilan
atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya. Secara singkat tujuan evaluasi kebijakan adalah
untuk mendokumentasikan apa yang terjadi dan mengapa itu terjadi, serta untuk
mengetahui apakah ada kaitan dari keduanya.
Perhatian khusus juga
diberikan bagi pengembangan prasarana wilayah yang strategis untuk pengembangan
wilayah pesisir dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana
tata ruangnya menurut Darwanto (2000), diantaranya:
§ Pemenuhan kebutuhan
perumahan dan permukiman, yang layak dan terjangkau dengan menitikberatkan pada
masyarakat miskin dan berpendapat rendah (seperti pada permukiman nelayan),
diantaranya melalui pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.
§ Pengembangan prasarana dan
sarana permukiman, khususnya untuk kota-kota pesisir, melalui: (a) peningkatan
prasarana dan sarana perkotaan untuk mewujudkan fungsi kota sebagai Pusat
Kegiatan Nasional, Wilayah dan Lokal; (b) pengembangan desa pusat pertumbuhan
dan prasarana dan sarana antara desa-kota untuk mendukung pengembangan
agribisnis dan agropolitan (termasuk sentra-sentra produksi kelautan); (c)
mempertahankan tingkat pelayanan dan kualitas jalan kota (arteri dan kolektor
primer) bagi kota-kota metro, besar, dan ibukota propinsi.
§ Pemantapan kehandalan
prasarana jalan untuk mendukung kawasan andalan (laut dan darat), termasuk
sentra-sentra produksi di wilayah pesisir, melalui: (a) harmonisasi sistim
jaringan jalan terhadap tata ruang, (b) pemantapan kinerja pelayanan prasarana
jalan terbangun melalui pemeliharaan, rahabilitasi serta pemantapan teknologi
terapan, (c) penyelesaian pembangunan ruas jalan untuk memfungsikan sistem
jaringan.
§ Pemantapan pelayanan
sumber daya air, terkait dengan pembangunan wilayah pesisir melalui: (a)
Pengelolaan dan konservasi sungai, danau, waduk dan sumber air lainnya untuk
menjamin ketersediaan air dan pengamanan pantai untuk melindungi kawasan sentra
ekonomi (termasuk kelautan), pemukiman (perkotaan dan perdesaan) pada wilayah
pesisir. (b) Pengembangan pengelolaan sumber daya air yang terkoordinasi secara
lintas sektoral dan multi-stakeholders pada tingkat nasional, daerah dan
wilayah sungai.
Menuru Ripley dalam
Wibawa (1994) terdapat beberapa persoalan yang harus dijawab dalam suatu
kegiatan evaluasi, yaitu:
1)
Kelompok dan
kepentingan mana yang memiliki akses di dalam pembuatan kebijakan?
2)
Apakah proses
pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi prosedur?
3)
Apakah program
didesain secara logis?
4)
Apakah
sumberdaya yang menjadi input program telah cukup memadai untuk mencapai
tujuan?
5)
Apakah standar
implementasi yang baik menurut kebijakan itu?
6)
Apakah program
dilaksanakan sesuai standar efisiensi dan ekonomi?
7)
Apakah kelompok
sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang didesain dalam program?
8)
Apakah program
memberikan dampak kepada kelompok non-sasaran?
9)
Apa dampaknya,
baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan terhadap masyarakat?
10)
Kapan tindakan
program dilakukan dan dampaknya diterima oleh masyarakat?
11)
Apakah tindakan
dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan?
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Perkembangan Kota Kolaka akan membawa pengaruh
besar terhadap lingkungannya termasuk lingkungan pesisir. Hal ini karena
perkembangan kota akan diiringi dengan perkembangan teknologi, industri,
pertumbuhan penduduk, sarana pemukiman, fasilitas umum dan sosial, serta sarana
transportasi yang akan memberikan tekanan terhadap lingkungan. Apabila hal ini
tidak dikelola, maka kemungkinan besar akan menimbulkan masalah lingkungan
(fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi, dan budaya) yang lebih kompleks dan
mengakibatkan degradasi lingkungan termasuk degradasi lingkungan pesisir yang
pada akhirnya akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir terutama
nelayan.
Kondisi eksisting di pesisir Kota Kolaka antara
lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. Kondisi Biofisik
Beberapa tahun terakhir ini terjadinya penurunan luasan
terumbu karang dan mangrove. Ancaman intrusi air laut di wilayah ini mulai
dirasakan masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan antara lain oleh pemakaian air
bawah tanah yang tinggi untuk aktivitas perumahan. Ancaman lain yang juga kerap
melanda pesisir Kota Kolaka adalah masalah banjir. Banjir yang terjadi antara
lain disebabkan oleh alur sungai yang menyempit karena permukiman atau
reklamasi pantai di bantaran sungai dan pembuangan sampah ke alur sungai.
B. Kondisi Sosial Ekonomi
Pesisir Kolaka masih menyimpan potensi besar dalam
pariwisata pantai yang ditunjang oleh letaknya yang dekat dengan pusat kota.
Sumberdaya alam berupa pariwisata pantai yang besar ini sayangnya belum
dikelola secara optimal dan pengelolaan yang ada sekarang belum memperhatikan
aspek keberlanjutan. Masalah sosial ekonomi yang lain adalah tingginya tingkat
pengeboman ikan. Cara seperti ini memang mudah untuk dilakukan namun sangat
membahayakan nelayan maupun lingkungan sekitarnya. Penggunaan bahan peledak ini
menjadikan metode penangkapan ikan menjadi tidak selektif karena peluang
matinya ikan-ikan berukuran kecil menjadi semakin tinggi, bahkan tidak jarang
dapat merusak terumbu karang. Selain itu permasalahan sosial ekonomi lain di
wilayah ini adalah rendahnya mutu sumberdaya manusia (SDM) yang rata-rata tamat
sekolah dasar.
C. Kondisi Kelembagaan
Kelembagaan merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam pengelolaan pesisir secara terpadu. Hal yang menjadi masalah
berkenaan dengan kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kota Kolaka,
antara lain: institusi pengelola wilayah pesisir belum berfungsi secara
optimal, rendahnya penaatan dan penegakan hukum disamping belum adanya
peraturan daerah yang mengatur secara khusus pengelolaan wilayah pesisir
berkelanjutan, serta penataan ruang wilayah pesisir yang belum optimal.
Kondisi diatas merupakan permasalahan yang
terdapat di wilayah pesisir Kota Kolaka. Pemerintah Kota Kolaka sebenarnya
telah menuangkan berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Namun sampai sejauh ini, berbagai kebijakan yang telah dituangkan belum mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara luas dan merata.
Permasalahan-permasalahan yang saat ini melanda
desa/kel di wilayah pesisir Kota Kolaka berakar pada belum optimalnya arahan
pengembangan di kawasan penelitian.
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang paling
mendapat tekanan di Kota Kolaka akibat tingginya intensitas pemanfaatan sumberdaya
di kawasan ini. Berkembangnya kawasan ini menjadi permukiman, perhubungan,
pariwisata, dan perikanan menjadikan kawasan ini salah satu kawasan yang paling
terancam secara ekologis dan rawan terhadap berbagai konflik sosial ekonomi. Identifikasi
potensi dan arah pengembangan desa/kel. di kawasan ini diharapkan dapat
memberikan kerangka dasar penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya secara
berkelanjutan.
Analisis pengembangan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan tipologi wilayah, yang terbagi atas dua, yakni dengan melihat
keragaan relatif tingkat perkembangan desa/kelurahan pesisir dibanding dengan
desa/kelurahan umumnya di Kota Kolaka dan melihat keterkaitan antara tipologi
dan perkembangan desa dengan faktor-faktor penciri/karakteristik desa. Hasil
analisis ini kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk menyusun strategi
pengembangan dan pengelolaan sosial ekonomi wilayah pesisir Kota Kolaka.
No comments:
Post a Comment
Please comment here!