BAGIAN I
PENGGOLONGAN TINDAK-TINDAK PIDANA
PENGGOLONGAN TINDAK-TINDAK PIDANA
Persamaan Sifat Semua Tindak Pidana
Berbicara tentang penggolongan tindak-tindak pidana harus dimulai dengan
mencari persamaan sifat semua tindak pidana. Dari persamaan sifat -ini
kernudian dapat dicari ukuran-ukuran atau kriteria untuk memperbedakan suatu
golongan tindak pidana dari golongan lain. Dan tiap-tiap golongan ini seberapa
boleh dipecah lagi ke dalam dua wau lebih subgolongan.
Ini adalah ciri khas dari ilmu pengetahuan, yang secara sistematis memungkinkan
para peminat untuk mendapat pandangan yang terang ten-tang seribu satu gejala
khusus di bidang ilmu pengetahuan tertentu, kini di bidang hukum pidana.
Dalam buku karangan saya, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, saya
kemukakan bahwa suatu tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga
bidang hukum 'lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata
usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu
hukuman pidana.
Maka sifat yang bersama ada dalam tiap tindak pidana ialah sifat melanggar
hukum (wederrechtelijkheid, onrechtmatigheid). Tidak :ida suatu tindak pidana
tanpa sifat melanggar hukum.
Sifat Melanggar Hukum
Dalam beberapa pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) disebutkan
sebagai salah satu unsur khusus dari suatu tindak pidana tertentu: wederrechtelijkheid
atau sifat-melanggar-hukum. Ada kalanya dengan penyebutan ini ditekankah bahwa sifat
melanggar hukum ini terutama mengenai satu bagian dari suatu tindak pidana.
Misalnya dalam tindak pidana "pencurian" oleh pasal 362 KUHP
disebutkan bahwa pengarnL;ilan barang milik prang lain ini harus dengan tujuan
(oogmerk) untuk memiliki barang itu dengan "melanggar hukum".Dalam
tindak pidana "penggelapan barang" dari pasal 372 KUHP perbuatannya
dirumuskan sebagai "memiliki barang dengan melanggar hukum"
(wederrechtelijk zich toe-eigenen).
Tindak pidana dari pasal 522 KUHP dirumuskan sebagai "dengan
melanggar hukum tidak memenuhi panggilan sah untuk datang selaku saksi".
Penyebutan "sifat melanggar hukum" dalam pasal-pasal tertentu
ini menimbulkan tiga pendapat tentang arti dari "melanggar hukum"
ini, yaitu diartikan:
ke-1:
bertentangan dengan hukum (objektif),
ke-2:
bertentangan
dengan hak (subjektif) orang lain,
ke-3:
tanpa hak.
Menurut Mr. T.J. Noyon dalam bukunya Het Wetboek van Strafrecht cetakan
V yang clikerjakan (bewerkt) oleh Prof. Mr. G.E. Langemeyer, jilid I halaman 7 noot
ke-2, pendapat ke-1 dianut oleh Simons, Zevenbergen, dan Pompe; pendapat ke-2
oleh Noyon dalam cetakan IV; pendapat ke-3 dikatakan dianut oleh Hoge Raad
Belanda, tetapi menurut Langemeyer sebetulnya tidak.
Langemeyer dalam noot tersebut juga menceritakan bahwa, menurut Van
Hamel, praktis ticlak ada perbedaan antara ketiga pendapat itu, dan bahwa
menurut Mr. J. Riphagen perkataan wederrechtelijk tidak perlu selalu diartikan
sama, tetapi dalam suatu pasal tertentu harus diartikan lain daripada dalam
pasal lain tertentu.
Saya rasa perbedaan antara ketiga pendapat ini terang ada. Apabila suatu
perbuatan bertentangan dengan suatu peraturan hukum tertentu (objektif), belum
tentu dengan perbuatan itu terlanggar suatu hak (subjektif) orang lain,
misalnya apabila peraturan hukum yang terlanggar itu melulu mengenai tats
tertib, tanpa menyinggung hak orang-orang.
Mengenai arti "tanpa hak" dari sifat melanggar hukum dapat dikatakan
bahwa mungkin seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan,
yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum.
Bahwa istilah "melanggar hukum" dalam suatu pasal harus
diartikan lain dari pada dalam pasal lain, seperti yang dikemukakan oleh
Riphagen, menurut hemat saga mungkin saja. Ini praktis bergantung (a) kepada
apa yang dibayangkan oleh pembentuk undang-undang, dan (b) kepada apa yang
dirasakan oleh para pelaksana hukum sebagai hal yang terbaik dalam situasi
tertentu.
Menghakimi
Sendiri (Eigen.Richting)
Ini memiliki hubungan erat dengan sifat melanggar hukum dari setiap tindak
pidana.Biasanya dengan suatu tindak pidana seseorang menderita kerugian. Ada
kalanya si korban berusaha sendiri untuk meniaclakan kerugian yang ia derita
dengan tidak menunggu tindakan alai-alai negara seperti polisi atau jaksa,
seolah-olah ia menghakimi sendiri (eigen richting).
Usaha orang ini tidak dilarang selama ia, dalam usahanya itu, tidak
melakukan perbuatan yang masuk perumusan tindak pidana lain. Apabila, misalnya,
seorang dicopet dompetnya, dan ia meminta kembali-dompetnya itu dari si
pencopet, dan permintaan ini dituruti, maka tindakan "menghakimi
sendiri" ini tidak dilarang.
Lain halnya apabila si pencopet semula tidak mau mengembalikan barangnya,
kemudian si korban memaksa si pencopet dengan kekerasan untuk menyerahkan
barangnya, maka tindakan si korban dapat masuk perumusan tindak pidana
"memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu" dari pasal 335 ayat 1 nomor
1 KUHP; maka dari itu sebetulnya tidak diperbolehkan.
Tetapi si korban dapat dikatakan terpaksa juga untuk melakukan kekerasan
terhadap si pencopet, dan kekerasan ini muttak perlu untuk membela
kepentingannya berupa milik atas barang yang dicopet. Maka berdasar atas pasal
49 ayat 1 KUHP (noodweer atau membela diri), si korban berhak melakukan
kekerasan ini. Asal, tentunya, kekerasan yang dilakukan itu tidak melampaui
batas, dan seimbang dengan kepentingan si korban yang dibelanya.
Dari uraian di
atas ternyata, bahwa hal menghakimi sendiri atau eigen richting ada kalanya
diperbolehkan, artinya ticlak bersifat melanggar hukum, dan dari itu tidak
merupakan suatu tindak pidana.
Penggolongan Tindak-Tindak Pidana Oleh KUHP
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana membagi semua tindak pidana, balk yang termuat di dalam
maupun di luar KUHP, menjadi dua golongan besar, yaitu golongan
"kejahatan" (misdrijven) yang termuat dalam Buku II, dan golongan
"pelanggaran" (overtredingen) yang termuat dalam Buku III KUHP.
Menurut Prof. Mr. J.M. Van
Bemmelen, Hand-en Leer-boek van het Nederlandse Strafrecht jilid II halaman 7,
di antara para penulis hampir merata suatu pendapat, bahwa perbedaan antara
kedua golongan tindak pidana ini tidak bersifat "kualitatif", tetapi
hanya "kuantitatif", yaitu kejahatan yang pada umumnya diancam dengan
hukuman lebih berat daripada pelanggaran, dan ini nampaknya didasarkan pada
sifat lebih berat dari "kejahatan".
Penggojongan ini praktis penting
karena dalam Buku I KUHP ada beberapa ketentuan yang hanya berlaku bagi "kejahatan",
misalnya ten-tang "percobaan" (poging) dan "pesertaan"
(deelneming).
Justru karena perbedaan antara
kedua golongan tindak pidana ini adalah kiiantitatif, maka di luar KUHP, dalam
undang-'Undang tertentu yang memuat penyebutan tindak pidana, harus ditegaskan,
apakah tindak pidana itu masuk golongan "kejahatan" atau golongan
"pelanggaran".
Penggolongan Kualitatif
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana mengadakan penggolongan kualitatif dalam titel-titel
yang merupakan bagian-bagian dari Buku II dan Buku III. Ukuran-ukuran
kualitatif ini sekadar dapat dilihat dalam judul-judul dari titel-titel
tersebut.
Buku II KUHP terdiri dari. 30
titel, yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Titel I Kejahatan-kejahatan terhadap Keamanan Negara
Titel II Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden
dan Wakil Presiden
Titel III Kejahatan-kejahatan
terhadap Negara-negara Asing Ber‑
sahabat dan terhadap Kepala dan Wakil Negara-negara
tersebut
Titel IV Kejahatan-kejahatan tentang Melakukan
Kewajiban Kenegaraan dan Hak Kenegaraan
Titel V Kejahatan-kejahatan
terhadap Ketertiban Umum
Titel VI Perang tanding
(tweegevecht, duel)
Titel VII Kejahatan-kejahatan. yang Membahayakan
Keamanan Umum Orang dan Barang
Titel VIII Kejahatan-kejahatan
terhadap Kekuasaan Umun-,
Titel IX Sumpah Palsu
dan Keterangan Palsu
Titel X Pemalsuan Uang
Logam dan Uang Kertas
Titel XI Pemalsuan
Meterai dan Cap
Titel X11 Pemalsuan Surat
Titel XIII Kejahatan-kejahatan
tentang Kedudukan Perdata
Titel XIV Kejahatan-kejahatan
Melanggar Kesopanan
Titel XV Meninggalkan
Orang-orang yang Perlu Ditolong
Titel XVI Penghinaan
Titel
XVII Membuka Rahasia
Titel XVIII Kejahatan-kejahatan
terhadap Kemerdekaan Orang
Titel XIX Kejahatan-kejahatan
terhadap Nyawa Orang
Titel XX Penganiayaan
Titel XXI Menyebabkan
Matinya atau Lukanya Orang karena Kealpaan
Titel
XXII Pencurian
Titel XXIII Pemerasan dan
Pengancaman
Titel XXIV Penggelapan Barang
Titel XXV Penipuan
Titel XXVI Merugikan Orang
Berpiutang atau Berhak
Titel XXVII Penghancuran atau Perusakan Barang
Titel XXVIII Kejahatan-kejahatan
Jabatan
Titel XXIX Kejahatan-kejahatan Pelayaran
Titel XXX Pemudahan
(begunstiging)
Buku
III-KUHP terdiri dari 10 titel yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Fite! I pelanggaran-pelanggaran
terhadap Keamanan Umurr,
Titel II Titel III Titel IV Titel V
Titel VI Titel VII Titel VIII Titel IX Titel X
|
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Ketertiban Umum
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Kekuasaan Umum Pelanggaran-pelanggaran
tentang Kedudukan Perdata Pela nggaran-pelangga ran mengenai Orang-orang yang
Perlu Ditolong
Pelanggaran-pelanggaran
Kesopanan Pelanggaran-pelanggaran tentang Tanah-tanah Tanaman Pelanggaran-pelanggaran
Jabatan Pelanggaran-pelanggaran Pelayaran Pelanggaran-pelanggaran terhadap
Keamanan Negara
|
Beberapa Kriteria Yang
Nampak
Mengingat judul-judul dari titel-titel KUHP tersebut ternyata bahwa tindak
pidana yang dirumuskan di situ melanggar pelbagai kepentingan yang dilindungi
oleh hukum (rechtsbelangen), dan nampak tiga jenis dari kepentingan itu, yaitu
ke-1 kepentingan individu-individu, ke-2 kepentingan masyarakat, dan ke-3
kepentingan negara; sedangkan tiap jenis kepentingan itu dapat dibagi lagi
menjadi beberapa subjenis.
Cara penggolongan tindak pidana berdasar atas wujud kepentingan yang
dirugikan ini, menurut Van Bemmelen (halaman 6), terdapat hampir di semua
negara (in vrijwel alle landen). Ini clapat dimengerti karena tidak ada tindak
pidana yang tidak merugikan salah satu dari ketiga jenis kepentingan tersebut.
Dan ini sesuai dengan sifat hukum pads umumnya yang, antara lain, dimaksudkan
untuk mengadakan tata tertib dalam hidup kemasyarakatan yang penuh dengan
bentrokan antara pelbagai kepentingan termaksud di atas.
Dari Buku II
KUHP, 16 titel mengenai kejahatan terhadap kepentingan individu, yaitu
titel-titel XIII s/d XXVII dan XXX; 8 titel mengenai kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan masyarakat, yaitu titel-titel V, VI, VII, IX, X, XI, XII, dan
XXIX; 6 titel mengenai kejahatan terhadap kepentingan negara, yaitu titel-titel
I, 11, III, IV, VIII, dan XXVIII.
Dari Buku III KUHP, 4 titel mengenai pelanggaran terhadap kepentingan
individu, yaitu titel-titel IV, V, VI, dan VII; 3 titel mengenai pelanggaran
terhadap kepentingan masyarakat, yaitu titel-titel I, II, dan IX; dan
3 titel mengenai pelanggaran
terhadap kepentingan negara, yaitu titel-titel III, VIII, dan X.
Titel-titel mengenai kejahatan terhadap kepentingan individu dapat dibagi
lagi menjadi 4 bagian, yaitu 7 titel mengenai kekayaan orang (vermogensdelicten),
yaitu titel-titel XXII s/d XXVII dan XXX; 5 titel mengenai nyawa dan tubuh
orang, yaitu titel-titel XV, XVIII, XIX, XX, dan XXI; 3 titel mengenai
kehormatan orang, yaitu titel-titel XIII, XVI, dan XVII; dan satu titel
mengenai kesopanan, yaitu titel XIV.
Titel-titel mengenai "pelanggaran" terhadap kepentingan
individu dapat dibagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu titel VII mengenai kekayaan orang,
titel V mengenai tubuh orang, titel IV mengenai kehormatan orang, dan titel VI
mengenai kesopanan.
Titel-titel
mengenai kejahatan terhadap kepentingan masyarakat clapat dibagi lagi menjadi 2
bagian, yaitu 4 titel mengenai membahayakan keadaan, yaitu titel-titel V, VI,
VII, dan XXIX; 4 titel mengenai pemalsuan, yaitu titel-titel IX, X, XI, dan
XII.
Titel-titel mengenai pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat semuanya
mengenai membahayakan keadaan, yaitu titel-titel I, II, dan IX.
Titel-titel
mengenai kejahatan terhadap kepentingan negara dapat dibagi lagi menjadi 2
bagian, yaitu 4 titel mengenai kedudukan negara, yakni titel-titel I, 11, III, dan
IV; dan 2 titel mengenai tindakan-tindakan alat-alat negara, yakni titel-titel
VIII dan XXVIII.
Titel-titel
mengenai pelanggaran terhadap kepentingan negara dapat dibagi lagi menjadi 2
bagian, yaitu satu titel mengenai kedudukan negara, yakni titel X, dan 2 titel
mengenai tindakan-tindakan alat-alat negara, yakni titel-titel III dan VIII.
Maka
dalam buku ini akan berturut-turut dibahas:
A. Kejahatan-kejahatan
dan pelanggaran-pelanggaran mengenai kekayaan orang
B. Kejahatan-kejahatan
dan pelanggaran-pelanggaran mengenai nyawa dan tubuh orang
C. Kejahatan-kejahatan
dan pelanggaran-pelanggaran mengenai kehormatan• orang
D.
Kejahatan-kejahatan dan
pelanggaran-pelanggaran mengenai kesopanan
E. Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai membahayakan
keadaan
F.
Kejahatan-kejahatan
mengenai pemalsuan
G. Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai kedudukan
negara
H. Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai tindakan-tindakan
alai-alas Negara.
Demikianlah suatu rubrikasi yang memudahkan kita akan mempunyai pandangan
yang menyeluruh atas pelbagai tindak pidana, yang tersebar dalarn Buku II dan
Buku III Kitab Unclatig-undang Hukum Pidana.
Dalam membahas
pelbagai tindak pidana lertentu dalarn buku ini mungkin akan nampak, apakah dan
sampai di manakah penempatan tindak-tindak pidana itu dalam titel-titel
tersebut sudah tepat. Dan barangkali ada alasan bagi pembentuk undang-undang di
Indonesia untuk meninjau kembali cara penggolongan dari KUHP, agar lebih sesuai
dengan keadaan di Indonesia pada zaman sekarang.
Tindak-tindak Pidana Di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Bagairnanakah hubungan kualitatif dan kuantitatif antara tindak-tindak pidana
yang termuat dalarn KUHP di satu pihak, dan tindak-tindak pidana yang termuat
di luar KUHP di lain pihak?
Soal kualitatif ini ada hubungannya dengan hal, bahwa KUHP merupakan
suatu kodifikasi, yaitu pada prinsipnya suatu pengumpulan sernua. ketentuan
hukum pidana dalam satu kitab undang-undang. Apabila diciptakan tindak-tindak
pidana baru, maka pada prinsipnya ini harus dimasukkan ke dalam KUHP.
Tetapi praktis
ini hanya dilakukan, jika tindak pidana yang baru itu ada Inibungan secara
kualitatif dengan jenis-jenis tindak pidana yang terkumpul dalam masing-masing
titel dari KUHP. Dan ternyata ini jarang terjadi. Biasanya ketentuan hukum
pidana yang baru itu ada hubungannya dengan persoalan administrasi negara
tertentu, yang diatur dalam suatu undang-undang khusus. Dalam undang-undang ini
di bagian penghabisan sering diancamkan hukuman pidana pada pelanggaran pelbagai
pasal dari undang-undang tsb.
No comments:
Post a Comment
Please comment here!