fin

Tuesday, April 10, 2012

DELIK-DELIK HUKUM


BAGIAN I
PENGGOLONGAN TINDAK-TINDAK PIDANA
Persamaan Sifat Semua Tindak Pidana
Berbicara tentang penggolongan tindak-tindak pidana harus dimulai dengan mencari persamaan sifat semua tindak pidana. Dari persamaan sifat -ini kernudian dapat dicari ukuran-ukuran atau kriteria untuk memperbedakan suatu golongan tindak pidana dari golongan lain. Dan tiap-tiap golongan ini seberapa boleh dipecah lagi ke dalam dua wau lebih subgolongan.

Ini adalah ciri khas dari ilmu pengetahuan, yang secara sistematis memungkinkan para peminat untuk mendapat pandangan yang terang ten-tang seribu satu gejala khusus di bidang ilmu pengetahuan tertentu, kini di bidang hukum pidana.

Dalam buku karangan saya, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, saya kemukakan bahwa suatu tindak pidana adalah pelanggaran norma-­norma dalam tiga bidang hukum 'lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pemben­tuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.

Maka sifat yang bersama ada dalam tiap tindak pidana ialah sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid, onrechtmatigheid). Tidak :ida suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.
Sifat Melanggar Hukum
Dalam beberapa pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) disebutkan sebagai salah satu unsur khusus dari suatu tindak pidana tertentu: weder­rechtelijkheid atau sifat-melanggar-hukum. Ada kalanya dengan penyebutan ini ditekankah bahwa sifat melanggar hukum ini terutama mengenai satu bagian dari suatu tindak pidana. Misalnya dalam tindak pidana "pencurian" oleh pasal 362 KUHP disebutkan bahwa pengarn­L;ilan barang milik prang lain ini harus dengan tujuan (oogmerk) untuk memiliki barang itu dengan "melanggar hukum".Dalam tindak pidana "penggelapan barang" dari pasal 372 KUHP perbuatannya dirumuskan sebagai "memiliki barang dengan melanggar hukum" (wederrechtelijk zich toe-eigenen).

Tindak pidana dari pasal 522 KUHP dirumuskan sebagai "dengan melanggar hukum tidak memenuhi panggilan sah untuk datang selaku saksi".
Penyebutan "sifat melanggar hukum" dalam pasal-pasal tertentu ini menimbulkan tiga pendapat tentang arti dari "melanggar hukum" ini, yaitu diartikan:
ke-1:      bertentangan dengan hukum (objektif),
ke-2:      bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain,
ke-3:      tanpa hak.

Menurut Mr. T.J. Noyon dalam bukunya Het Wetboek van Strafrecht cetakan V yang clikerjakan (bewerkt) oleh Prof. Mr. G.E. Langemeyer, jilid I halaman 7 noot ke-2, pendapat ke-1 dianut oleh Simons, Zevenbergen, dan Pompe; pendapat ke-2 oleh Noyon dalam cetakan IV; pendapat ke-3 dikatakan dianut oleh Hoge Raad Belanda, tetapi menurut Langemeyer sebetulnya tidak.

Langemeyer dalam noot tersebut juga menceritakan bahwa, menurut Van Hamel, praktis ticlak ada perbedaan antara ketiga pendapat itu, dan bahwa menurut Mr. J. Riphagen perkataan wederrechtelijk tidak perlu selalu diartikan sama, tetapi dalam suatu pasal tertentu harus diartikan lain daripada dalam pasal lain tertentu.

Saya rasa perbedaan antara ketiga pendapat ini terang ada. Apabila suatu perbuatan bertentangan dengan suatu peraturan hukum tertentu (ob­jektif), belum tentu dengan perbuatan itu terlanggar suatu hak (subjektif) orang lain, misalnya apabila peraturan hukum yang terlanggar itu melulu mengenai tats tertib, tanpa menyinggung hak orang-orang.

Mengenai arti "tanpa hak" dari sifat melanggar hukum dapat dikatakan bahwa mungkin seseorang tidak mempunyai hak untuk melaku­kan suatu perbuatan, yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum.

Bahwa istilah "melanggar hukum" dalam suatu pasal harus diartikan lain dari pada dalam pasal lain, seperti yang dikemukakan oleh Riphagen, menurut hemat saga mungkin saja. Ini praktis bergantung (a) kepada apa yang dibayangkan oleh pembentuk undang-undang, dan (b) kepada apa yang dirasakan oleh para pelaksana hukum sebagai hal yang terbaik dalam situasi tertentu.
Menghakimi Sendiri (Eigen.Richting)
Ini memiliki hubungan erat dengan sifat melanggar hukum dari setiap tin­dak pidana.Biasanya dengan suatu tindak pidana seseorang menderita kerugian. Ada kalanya si korban berusaha sendiri untuk meniaclakan kerugian yang ia derita dengan tidak menunggu tindakan alai-alai negara seperti polisi atau jaksa, seolah-olah ia menghakimi sendiri (eigen richting).

Usaha orang ini tidak dilarang selama ia, dalam usahanya itu, tidak melakukan perbuatan yang masuk perumusan tindak pidana lain. Apabila, misalnya, seorang dicopet dompetnya, dan ia meminta kembali-dompet­nya itu dari si pencopet, dan permintaan ini dituruti, maka tindakan "menghakimi sendiri" ini tidak dilarang.
Lain halnya apabila si pencopet semula tidak mau mengembalikan barangnya, kemudian si korban memaksa si pencopet dengan kekerasan untuk menyerahkan barangnya, maka tindakan si korban dapat masuk perumusan tindak pidana "memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu" dari pasal 335 ayat 1 nomor 1 KUHP; maka dari itu sebetulnya tidak diperbolehkan.

Tetapi si korban dapat dikatakan terpaksa juga untuk melakukan kekerasan terhadap si pencopet, dan kekerasan ini muttak perlu untuk membela kepentingannya berupa milik atas barang yang dicopet. Maka berdasar atas pasal 49 ayat 1 KUHP (noodweer atau membela diri), si korban berhak melakukan kekerasan ini. Asal, tentunya, kekerasan yang dilakukan itu tidak melampaui batas, dan seimbang dengan kepentingan si korban yang dibelanya.

Dari uraian di atas ternyata, bahwa hal menghakimi sendiri atau eigen richting ada kalanya diperbolehkan, artinya ticlak bersifat melanggar hukum, dan dari itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

Penggolongan Tindak-Tindak Pidana Oleh KUHP
Kitab Undang-undang Hukum Pidana membagi semua tindak pidana, balk yang termuat di dalam maupun di luar KUHP, menjadi dua golongan besar, yaitu golongan "kejahatan" (misdrijven) yang termuat dalam Buku II, dan golongan "pelanggaran" (overtredingen) yang termuat dalam Buku III KUHP.

Menurut Prof. Mr. J.M. Van Bemmelen, Hand-en Leer-boek van het Nederlandse Strafrecht jilid II halaman 7, di antara para penulis hampir merata suatu pendapat, bahwa perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini tidak bersifat "kualitatif", tetapi hanya "kuantitatif", yaitu kejahatan yang pada umumnya diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran, dan ini nampaknya didasarkan pada sifat lebih berat dari "kejahatan".

Penggojongan ini praktis penting karena dalam Buku I KUHP ada beberapa ketentuan yang hanya berlaku bagi "kejahatan", misalnya ten-tang "percobaan" (poging) dan "pesertaan" (deelneming).

Justru karena perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini adalah kiiantitatif, maka di luar KUHP, dalam undang-'Undang tertentu yang memuat penyebutan tindak pidana, harus ditegaskan, apakah tin­dak pidana itu masuk golongan "kejahatan" atau golongan "pe­langgaran".
Penggolongan Kualitatif
Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengadakan penggolongan kualitatif dalam titel-titel yang merupakan bagian-bagian dari Buku II dan Buku III. Ukuran-ukuran kualitatif ini sekadar dapat dilihat dalam judul-judul dari titel-titel tersebut.

Buku II KUHP terdiri dari. 30 titel, yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Titel I              Kejahatan-kejahatan terhadap Keamanan Negara
Titel II            Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Titel III           Kejahatan-kejahatan terhadap Negara-negara Asing Ber‑
sahabat dan terhadap Kepala dan Wakil Negara-negara tersebut
Titel IV           Kejahatan-kejahatan tentang Melakukan Kewajiban Kenegaraan dan Hak Kenegaraan
Titel V             Kejahatan-kejahatan terhadap Ketertiban Umum
Titel VI            Perang tanding (tweegevecht, duel)
Titel VII          Kejahatan-kejahatan. yang Membahayakan Keamanan Umum Orang dan Barang
Titel VIII         Kejahatan-kejahatan terhadap Kekuasaan Umun-,
Titel IX            Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
Titel X             Pemalsuan Uang Logam dan Uang Kertas
Titel XI            Pemalsuan Meterai dan Cap
Titel X11         Pemalsuan Surat
Titel XIII         Kejahatan-kejahatan tentang Kedudukan Perdata
Titel XIV         Kejahatan-kejahatan Melanggar Kesopanan
Titel XV          Meninggalkan Orang-orang yang Perlu Ditolong
Titel XVI         Penghinaan
Titel XVII       Membuka Rahasia
Titel XVIII      Kejahatan-kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang
Titel XIX         Kejahatan-kejahatan terhadap Nyawa Orang
Titel XX          Penganiayaan
Titel XXI         Menyebabkan Matinya atau Lukanya Orang karena Kealpaan
Titel XXII       Pencurian
Titel XXIII      Pemerasan dan Pengancaman
Titel XXIV      Penggelapan Barang
Titel XXV       Penipuan
Titel XXVI      Merugikan Orang Berpiutang atau Berhak
Titel XXVII    Penghancuran atau Perusakan Barang
Titel XXVIII   Kejahatan-kejahatan Jabatan
Titel XXIX      Kejahatan-kejahatan Pelayaran
Titel XXX       Pemudahan (begunstiging)
Buku III-KUHP terdiri dari 10 titel yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Fite! I               pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Umurr,
Titel II Titel III Titel IV Titel V

Titel VI Titel VII Titel VIII Titel IX Titel X
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Ketertiban Umum Pelanggaran-pelanggaran terhadap Kekuasaan Umum Pelanggaran-pelanggaran tentang Kedudukan Perdata Pela nggaran-pelangga ran mengenai Orang-orang yang Perlu Ditolong
Pelanggaran-pelanggaran Kesopanan Pelanggaran-pelanggaran tentang Tanah-tanah Tanaman Pelanggaran-pelanggaran Jabatan Pelanggaran-pelanggaran Pelayaran Pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Negara

Beberapa Kriteria Yang Nampak
Mengingat judul-judul dari titel-titel KUHP tersebut ternyata bahwa tin­dak pidana yang dirumuskan di situ melanggar pelbagai kepentingan yang dilindungi oleh hukum (rechtsbelangen), dan nampak tiga jenis dari kepen­tingan itu, yaitu ke-1 kepentingan individu-individu, ke-2 kepentingan masyarakat, dan ke-3 kepentingan negara; sedangkan tiap jenis kepen­tingan itu dapat dibagi lagi menjadi beberapa subjenis.

Cara penggolongan tindak pidana berdasar atas wujud kepentingan yang dirugikan ini, menurut Van Bemmelen (halaman 6), terdapat ham­pir di semua negara (in vrijwel alle landen). Ini clapat dimengerti karena tidak ada tindak pidana yang tidak merugikan salah satu dari ketiga jenis kepentingan tersebut. Dan ini sesuai dengan sifat hukum pads umumnya yang, antara lain, dimaksudkan untuk mengadakan tata tertib dalam hidup kemasyarakatan yang penuh dengan bentrokan antara pelbagai kepen­tingan termaksud di atas.

Dari Buku II KUHP, 16 titel mengenai kejahatan terhadap kepen­tingan individu, yaitu titel-titel XIII s/d XXVII dan XXX; 8 titel mengenai kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan masyarakat, yaitu titel-titel V, VI, VII, IX, X, XI, XII, dan XXIX; 6 titel mengenai kejahatan terhadap kepentingan negara, yaitu titel-titel I, 11, III, IV, VIII, dan XXVIII.

Dari Buku III KUHP, 4 titel mengenai pelanggaran terhadap kepen­tingan individu, yaitu titel-titel IV, V, VI, dan VII; 3 titel mengenai pelang­garan terhadap kepentingan masyarakat, yaitu titel-titel I, II, dan IX; dan
3 titel mengenai pelanggaran terhadap kepentingan negara, yaitu titel-titel III, VIII, dan X.

Titel-titel mengenai kejahatan terhadap kepentingan individu dapat dibagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu 7 titel mengenai kekayaan orang (ver­mogensdelicten), yaitu titel-titel XXII s/d XXVII dan XXX; 5 titel mengenai nyawa dan tubuh orang, yaitu titel-titel XV, XVIII, XIX, XX, dan XXI; 3 titel mengenai kehormatan orang, yaitu titel-titel XIII, XVI, dan XVII; dan satu titel mengenai kesopanan, yaitu titel XIV.
Titel-titel mengenai "pelanggaran" terhadap kepentingan individu dapat dibagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu titel VII mengenai kekayaan orang, titel V mengenai tubuh orang, titel IV mengenai kehormatan orang, dan titel VI mengenai kesopanan.

Titel-titel mengenai kejahatan terhadap kepentingan masyarakat clapat dibagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu 4 titel mengenai membahayakan ke­adaan, yaitu titel-titel V, VI, VII, dan XXIX; 4 titel mengenai pemalsuan, yaitu titel-titel IX, X, XI, dan XII.

Titel-titel mengenai pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat se­muanya mengenai membahayakan keadaan, yaitu titel-titel I, II, dan IX.

Titel-titel mengenai kejahatan terhadap kepentingan negara dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu 4 titel mengenai kedudukan negara, yakni titel-titel I, 11, III, dan IV; dan 2 titel mengenai tindakan-tindakan alat-alat negara, yakni titel-titel VIII dan XXVIII.

Titel-titel mengenai pelanggaran terhadap kepentingan negara dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu satu titel mengenai kedudukan negara, yakni titel X, dan 2 titel mengenai tindakan-tindakan alat-alat negara, yakni titel-titel III dan VIII.

Maka dalam buku ini akan berturut-turut dibahas:
A.    Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai kekayaan orang
B.    Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai nyawa dan tubuh orang
C.    Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai kehor­matan• orang
D.    Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai kesopanan
E.    Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai mem­bahayakan keadaan
F.       Kejahatan-kejahatan mengenai pemalsuan
G.      Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai kedudukan negara
H.      Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai tindakan-tindakan alai-alas Negara.

Demikianlah suatu rubrikasi yang memudahkan kita akan mempunyai pandangan yang menyeluruh atas pelbagai tindak pidana, yang tersebar dalarn Buku II dan Buku III Kitab Unclatig-undang Hukum Pidana.

Dalam membahas pelbagai tindak pidana lertentu dalarn buku ini mungkin akan nampak, apakah dan sampai di manakah penempatan tin­dak-tindak pidana itu dalam titel-titel tersebut sudah tepat. Dan barangkali ada alasan bagi pembentuk undang-undang di Indonesia untuk meninjau kembali cara penggolongan dari KUHP, agar lebih sesuai dengan keadaan di Indonesia pada zaman sekarang.
Tindak-tindak Pidana Di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Bagairnanakah hubungan kualitatif dan kuantitatif antara tindak-tindak pidana yang termuat dalarn KUHP di satu pihak, dan tindak-tindak pidana yang termuat di luar KUHP di lain pihak?

Soal kualitatif ini ada hubungannya dengan hal, bahwa KUHP merupakan suatu kodifikasi, yaitu pada prinsipnya suatu pengumpulan sernua. ketentuan hukum pidana dalam satu kitab undang-undang. Apabila diciptakan tindak-tindak pidana baru, maka pada prinsipnya ini harus dimasukkan ke dalam KUHP.

Tetapi praktis ini hanya dilakukan, jika tindak pidana yang baru itu ada Inibungan secara kualitatif dengan jenis-jenis tindak pidana yang terkumpul dalam masing-masing titel dari KUHP. Dan ternyata ini jarang terjadi. Biasanya ketentuan hukum pidana yang baru itu ada hubungan­nya dengan persoalan administrasi negara tertentu, yang diatur dalam suatu undang-undang khusus. Dalam undang-undang ini di bagian penghabisan sering diancamkan hukuman pidana pada pelanggaran pelbagai pasal dari undang-undang tsb.



No comments:

Post a Comment

Please comment here!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Feedjit